Facebook Fans

DAKWAH UNTUK KEBAIKAN DUNIA DAN AKHIRATMU

Serulah kepada jalan Tuhan-Mu dengan penuh Kebijaksanaan, Nasihat yang Baik, dan Diskusi yang Konstruktif. Sesungguhnya Tuhanmu, Dialah yang lebih mengetahui tentang Siapa yang tersesat dari Jalan-Nya (Q.S.An-Nahl:125)

DAKWAH UNTUK KEBAIKAN DUNIA DAN AKHIRATMU

Serulah kepada jalan Tuhan-Mu dengan penuh Kebijaksanaan, Nasihat yang Baik, dan Diskusi yang Konstruktif. Sesungguhnya Tuhanmu, Dialah yang lebih mengetahui tentang Siapa yang tersesat dari Jalan-Nya (Q.S.An-Nahl:125)

DAKWAH UNTUK KEBAIKAN DUNIA DAN AKHIRATMU

Serulah kepada jalan Tuhan-Mu dengan penuh Kebijaksanaan, Nasihat yang Baik, dan Diskusi yang Konstruktif. Sesungguhnya Tuhanmu, Dialah yang lebih mengetahui tentang Siapa yang tersesat dari Jalan-Nya (Q.S.An-Nahl:125)

DAKWAH UNTUK KEBAIKAN DUNIA DAN AKHIRATMU

Serulah kepada jalan Tuhan-Mu dengan penuh Kebijaksanaan, Nasihat yang Baik, dan Diskusi yang Konstruktif. Sesungguhnya Tuhanmu, Dialah yang lebih mengetahui tentang Siapa yang tersesat dari Jalan-Nya (Q.S.An-Nahl:125)

DAKWAH UNTUK KEBAIKAN DUNIA DAN AKHIRATMU

Serulah kepada jalan Tuhan-Mu dengan penuh Kebijaksanaan, Nasihat yang Baik, dan Diskusi yang Konstruktif. Sesungguhnya Tuhanmu, Dialah yang lebih mengetahui tentang Siapa yang tersesat dari Jalan-Nya (Q.S.An-Nahl:125)

Minggu, 30 Oktober 2011

Diantara kelebihan Al-`qur`an

Alqur’an Sebagai Pembela di Akhirat

Telah bersabda Rasulullah SAW: Belajarlah kamu akan Alqur’an, di akhirat nanti dia akan datang kepada ahli-ahlinya, yang mana di kala itu orang sangat memerlukannya. Ia akan datang dalam bentuk seindah-indahnya dan ia bertanya, “Kenalkah kamu kepadaku?”

Maka orang yang pernah membaca Alqur’an menjawab: “Siapakah kamu?”

Berkata Alqur’an: “Akulah yang kamu cintai dan kamu sanjung, dan engkau juga telah bangun malam untukku dan kamu juga pernah membacaku di waktu siang hari.”

Kemudian berkatalah orang yang pernah membaca Alqur’an itu: “Adakah kamu Alqur’an?” Alqur’an lalu mengiyakan dan menuntun orang tersebut menghadap Allah.

Orang beriman itu kemudian diberi kerajaan yang kekal di tangan kanan dan kirinya, kemudian dia meletakkan mahkota di atas kepalanya. Pada kedua ayah dan ibunya yang muslim, juga diberi perhiasan yang tidak dapat ditukar dengan dunia walau berlipat ganda, sehingga keduanya bertanya: “Dari manakah kami memperoleh ini semua, padahal kami tidak sampai ini?”

Lalu dijawab: “Kamu diberi ini semua karena anak kamu telah mempelajari Alqur’an.”

Kelebihan Alqur’an

Alqur’an memiliki tiga kelebihan yang tidak dimiliki oleh kitab suci lain. Pertama, merupakan kitab suci yang paling banyak dibaca dan dihafalkan oleh manusia sejak dahulu hingga sekarang dalam bahasa aslinya. Dalam catatan rekor dunia guinness, disebutkan bahwa buku non-fiksi yang paling banyak dibaca sepanjang sejarah adalah Bible. Namun, kita tahu, Bible menggunakan bahasa setempat dan telah mengalami banyak perubahan. Sedangkan Alqur’an, apa yang kita baca darinya saat ini adalah apa yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW tanpa ada perubahan sedikitpun. Kedua, merupakan kitab suci yang mendapat perhatian sangat besar, baik oleh pemeluknya maupun oleh orang diluar mereka. Banyak ilmuwan non-Muslim yang mengakui Alqur’an, baik dari segi tata bahasanya maupun kandungannya. Ketiga, bagi seorang mukmin, membaca Alqur’an akan dapat memperkuat imannya serta kedekatannya kepada Sang Pencipta, dan membaca Alqur’an termasuk ibadah.

Sebagai seorang Muslim, sudah semestinya kita menjadikan Alqur’an sebagai pedoman hidup. Menjadikannya cermin melihat dan mengukur akhlak dan setiap aktivitas yang kita lakukan. Menjadikannya sahabat yang mengingatkan saat terlupa dan menegur saat alpa. Bila dalam satu hari kita tidak berkomunikasi dengan manusia kemudian kita merasa kesepian, maka apakah bila dalam satu hari kita tidak berkomunikasi dengan Dzat yang telah menciptakan kita dengan membaca Alqur’an, apakah kita merasa kesepian? Apabila setiap pagi kita merasa ada yang kurang tanpa membaca koran, maka apakah dalam setiap mengawali hari kita selalu merasa kurang sebelum membaca Alqur’an? Saat diri terlupa, tersesat dan lemah, maka apakah Alqur’an sudah kita jadikan sebagai pedoman hidup?

Minggu, 09 Oktober 2011

Al-Qur`an sebagai penyejuk jiwa

Saudaraku, sudah menjadi tabiat manusia bahwa mereka menyukai sesuatu yang bisa menyenangkan hati dan menentramkan jiwa mereka. Oleh sebab itu, banyak orang rela mengorbankan waktunya, memeras otaknya, dan menguras tenaganya, atau bahkan kalau perlu mengeluarkan biaya yang tidak kecil jumlahnya demi meraih apa yang disebut sebagai kepuasan dan ketenangan jiwa. Namun, ada sebuah fenomena memprihatinkan yang sulit sekali dilepaskan dari upaya ini. Seringkali kita jumpai manusia memakai cara-cara yang dibenci oleh Allah demi mencapai keinginan mereka. Ada di antara mereka yang terjebak dalam jerat harta. Ada yang terjebak dalam jerat wanita. Ada yang terjebak dalam hiburan yang tidak halal. Ada pula yang terjebak dalam aksi-aksi brutal atau tindak kriminal. Apabila permasalahan ini kita cermati, ada satu faktor yang bisa ditengarai sebagai sumber utama munculnya itu semua. Hal itu tidak lain adalah karena manusia tidak lagi menemukan ketenangan dan kepuasan jiwa dengan berdzikir dan mengingat Rabb mereka.
Padahal, Allah ta’ala telah mengingatkan hal ini dalam ayat (yang artinya), “Orang-orang yang beriman dan hati mereka bisa merasa tentram dengan mengingat Allah, ketahuilah bahwa hanya dengan mengingat Allah maka hati akan merasa tentram.” (QS. ar-Ra’d: 28). Ibnul Qayyim rahimahullah menyebutkan bahwa pendapat terpilih mengenai makna ‘mengingat Allah’ di sini adalah mengingat al-Qur’an. Hal itu disebabkan hati manusia tidak akan bisa merasakan ketentraman kecuali dengan iman dan keyakinan yang tertanam di dalam hatinya. Sementara iman dan keyakinan tidak bisa diperoleh kecuali dengan menyerap bimbingan al-Qur’an (lihat Tafsir al-Qayyim, hal. 324)
Ibnu Rajab al-Hanbali berkata, “Dzikir merupakan sebuah kelezatan bagi hati orang-orang yang mengerti.” Demikian juga Malik bin Dinar mengatakan, “Tidaklah orang-orang yang merasakan kelezatan bisa merasakan sebagaimana kelezatan yang diraih dengan mengingat Allah.” (lihat Jami’ al-’Ulum wa al-Hikam, hal. 562). Sekarang, yang menjadi pertanyaan kita adalah; mengapa banyak di antara kita yang tidak bisa merasakan kelezatan berdzikir sebagaimana yang digambarkan oleh para ulama salaf. Sehingga kita lebih menyukai menonton sepakbola daripada ikut pengajian, atau lebih suka menikmati telenovela daripada merenungkan ayat-ayat-Nya, atau lebih suka berkunjung ke lokasi wisata daripada memakmurkan rumah-Nya.
Perhatikanlah ucapan Rabi’ bin Anas berikut ini, mungkin kita akan bisa menemukan jawabannya. Rabi’ bin Anas mengatakan sebuah ungkapan dari sebagian sahabatnya, “Tanda cinta kepada Allah adalah banyak berdzikir/mengingat kepada-Nya, karena sesungguhnya tidaklah kamu mencintai apa saja kecuali kamu pasti akan banyak-banyak menyebutnya.” (lihat Jami’ al-’Ulum wa al-Hikam, hal. 559). Ini artinya, semakin lemah rasa cinta kepada Allah dalam diri seseorang, maka semakin sedikit pula ‘kemampuannya’ untuk bisa mengingat Allah ta’ala. Hal ini secara tidak langsung menggambarkan kondisi batin kita yang begitu memprihatinkan, walaupun kondisi lahiriyahnya tampak baik-baik saja. Aduhai, betapa sedikit orang yang memperhatikannya! Ternyata, inilah yang selama ini hilang dan menipis dalam diri kita; yaitu rasa cinta kepada Allah…
Syaikh as-Sa’di rahimahullah berkata, “Pokok dan ruh ketauhidan adalah memurnikan rasa cinta untuk Allah semata, dan hal itu merupakan pokok penghambaan dan penyembahan kepada-Nya. Bahkan, itulah hakekat dari ibadah. Tauhid tidak akan sempurna sampai rasa cinta seorang hamba kepada Rabbnya menjadi sempurna, dan kecintaan kepada-Nya harus lebih diutamakan daripada segala sesuatu yang dicintai. Sehingga rasa cintanya kepada Allah mengalahkan rasa cintanya kepada selain-Nya dan menjadi penentu atasnya, yang membuat segala perkara yang dicintainya harus tunduk dan mengikuti kecintaan ini yang dengannya seorang hamba akan bisa menggapai kebahagiaan dan kemenangannya.” (al-Qaul as-Sadid Fi Maqashid at-Tauhid, hal. 95)
Kalau demikian keadaannya, maka solusi untuk bisa menggapai ketenangan jiwa melalui dzikir adalah dengan menumbuhkan dan menguatkan rasa cinta kepada Allah. Dan satu-satunya jalan untuk mendapatkannya adalah dengan mengenal Allah melalui keagungan nama-nama dan sifat-sifat-Nya dan memperhatikan kebesaran ayat-ayat-Nya, yang tertera di dalam al-Qur’an ataupun yang berwujud makhluk ciptaan-Nya. Syaikh Dr. Muhammad bin Khalifah at-Tamimi hafizhahullah berkata, “Sesungguhnya rasa cinta kepada sesuatu merupakan cabang dari pengenalan terhadapnya. Maka manusia yang paling mengenal Allah adalah orang yang paling cinta kepada-Nya. Dan setiap orang yang mengenal Allah pastilah akan mencintai-Nya. Dan tidak ada jalan untuk menggapai ma’rifat ini kecuali melalui pintu ilmu mengenai nama-nama Allah dan sifat-sifat-Nya. Tidak akan kokoh ma’rifat seorang hamba terhadap Allah kecuali dengan berupaya mengenali nama-nama dan sifat-sifat-Nya yang disebutkan di dalam al-Qur’an maupun as-Sunnah…” (Mu’taqad Ahlis Sunnah wal Jama’ah fi Tauhid al-Asma’ wa as-Shifat, hal. 16)
Hati seorang hamba akan menjadi hidup, diliputi dengan kenikmatan dan ketentraman apabila hati tersebut adalah hati yang senantiasa mengenal Allah, yang pada akhirnya membuahkan rasa cinta kepada Allah lebih di atas segala-galanya (lihat Mu’taqad Ahlis Sunnah wal Jama’ah fi Tauhid al-Asma’ wa as-Shifat, hal. 21). Di sisi yang lain, kelezatan di akherat yang diperoleh seorang hamba kelak adalah tatkala melihat wajah-Nya. Sementara hal itu tidak akan bisa diperolehnya kecuali setelah merasakan kelezatan paling agung di dunia, yaitu dengan mengenal Allah dan mencintai-Nya, dan inilah yang dimaksud dengan surga dunia yang akan senantiasa menyejukkan hati hamba-hamba-Nya (lihat ad-Daa’ wa ad-Dawaa’, hal. 261)
Banyak orang yang tertipu oleh dunia dengan segala kesenangan yang ditawarkannya sehingga hal itu melupakan mereka dari mengingat Rabb yang menganugerahkan nikmat kepada mereka. Hal itu bermula, tatkala kecintaan kepada dunia telah meresap ke dalam relung-relung hatinya. Tanpa terasa, kecintaan kepada Allah sedikit demi sedikit luntur dan lenyap. Terlebih lagi ‘didukung’ suasana sekitar yang jauh dari siraman petunjuk al-Qur’an, apatah lagi pengenalan terhadap keagungan nama-nama dan sifat-Nya. Maka semakin jauhlah sosok seorang hamba yang lemah itu dari lingkaran hidayah Rabbnya. Sholat terasa hampa, berdzikir tinggal gerakan lidah tanpa makna, dan al-Qur’an pun teronggok berdebu tak tersentuh tangannya. Wahai saudaraku… apakah yang kau cari dalam hidup ini? Kalau engkau mencari kebahagiaan, maka ingatlah bahwa kebahagiaan yang sejati tidak akan pernah didapatkan kecuali bersama-Nya dan dengan senantiasa mengingat-Nya.
Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Akan tetapi ternyata kalian lebih mengutamakan kehidupan dunia, sementara akherat itu lebih baik dan lebih kekal.” (QS. al-A’la: 16-17). Allah juga berfirman mengenai seruan seorang rasul yang sangat menghendaki kebaikan bagi kaumnya (yang artinya), “Wahai kaumku, ikutilah aku niscaya akan kutunjukkan kepada kalian jalan petunjuk. Wahai kaumku, sesungguhnya kehidupan dunia ini hanyalah kesenangan (yang semu), dan sesungguhnya akherat itulah tempat menetap yang sebenarnya.” (QS. Ghafir: 38-39) (lihat ad-Daa’ wa ad-Dawaa’, hal. 260)

Share

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More