Facebook Fans

Kamis, 05 Januari 2012

BEKERJA DAN BELAJARNYA WANITA

BEKERJA DAN BELAJARNYA WANITA

Kalau seorang wanita melakukan suatu pekerjaan untuk menghidupi diri dan keluarganya, atau sedang menekuni suatu system ilmu untuk kepentingan umat dan agamanya, dalam hal ini diberlakukan hukum umum, yang berlaku bagi kaum wanita dan pria muslim.

Kalau anda menemui suatu larangan dalam islam tentang tidak bolehnya wanita bekerja dan belajar diluar rumahnya, hal ini karena dikuatirkan bisa menggelincirkannya untuk melakukan apa-apa yang dilarang agama, seperti menanggalkan jilbab atau hijabnya di depan lelaki asing, atau dikuatirkan kerjanya uitu bisa merampas atau mempersempit lapangan kerja kaum lelaki, sehingga berakibat timbul kepincangan dalam system tanggung jawab yang dibebankan khusus pada kaum lelaki yang bertanggung jawab member nafkah rumah tangganya, sesuai yang berlaku umum dalam masyarakat islam.

Pekerjaan terhormat apapun bisa berubah tidak terhormat kalau iya memaksa kaum wanita keluar menanggalkan kehormatannya denmgan mempersolek diri dengan dandanan yang merangsang semua orang asing yang hilir mudik. Malah hal itu haram hukumnya bagi kedua belah pihak, kepada pihak perempuan juga pihak lelaki, sebab permainan api dari pihak yang satu bisa membakar kedua belah pihak bersama-sama.

Syariat Allah Ta`ala sudah mengatur pertemuan antara laki-laki dan perempuan melalui perkawinan berdasarkan syariatNya. Aturan dan syariatNya itu tidak mungkin direalisasikan, kecuali dengan menjadikan salah satu dari keduanya sebagai jenis yang diminta, dan menjadikan yang lainnya sebagai jenis yang meminta dan mengejar-ngejar.

Kalau masing-masing pihak, baik perempuan maupun laki-laki mengetahui, bahwa pihak yang kedua yang dibebani kewajiban mengeluarkan maskawin dan belanja, sudah tentu tidak ada alas an lagi bagi perempuan untuk mencari uang. Sebaba pencariannya itu dalam keadaan demikian bisa diartikan orang karena ingin mendapatkan suami dan juga maskawin. Hal itu jelas tidak normal dan terbalik dari tinjauan dari segi tukar-menukar kepentingan maupun dari hukum penawaran dan permintaan. Dengan demikian, sekali lagi upaya pencarian uang untuk mendirikan mahligai rumah tangga itu hanya merupakan kewajiban lelaki. Dengan demikian terlaksanalah hukum syariat dalam soal munakahat, dan sekaligus akan terwujud cita-citanya untuk mengayomi rumah tangga itu dengan mawaddah warahmah, sesuai dengan apa yang dikehendaki Allah kepada kita semua.

Namun kalau masyarakat sepakat untuk membebankan maskawin, nafkah dan sebagainya sebagai beban suami isteri, atau merupakan kewajiban mutlak isteri, seperti banyak terjadi di beberapa bagian Eropa, maka masalahnya sudah mulai terbalik : kaum laki-laki merasa berat untuk cepat kawin, malah keinginan untuk kawinpun di sembunyikan, mengharap adanya tawaran yang lebih tinggi ! maka makin keraslah persaingan di kalangan pihak suami yang ideal, ia harus memenangkan tawarannya dan itu hanya dapat dicapai jika ia kaya raya dan sekaligus merendahkan pribadinya. Menyusul setelah itu akibat-akibat buruk lainnya.

Mungkin anda bertanya mengapa pokok bahasan sudah terlalu jauh dari pembicaraan awal, padahal pokok pembicaraan berkisar pada masalah pekerjaan kaum wanita, meskipun poada dasarnya hukumnya mubah, namun bisa merubah menjadi haram, kalau berakibat mendatangkan kerusakan pertanggung jawaban masyarakat yang sudah ditetapkan antara kaum laki-laki dan kaum wanita. Hubungan uraian panjang ini dengan kaum wanita, dan letak pengaruhnya dalam menciptakan kerusakan tersebut adalah sesungguhnya natijah uraian panjang lebar ini berkesimpulan bahwa wanita itu harus tetap merupakan jenis yang diminta dan pria harus tetap merupakan jenis memintanya, dan lelaki harus bertindak sebagai pemberi belanja. Timbul pertanyaan : bagaiman caranya supaya lelaki merupakan penaggung jawab tunggal pengeluaran nafkah, dan supaya jangan berakibat memaksa perempuan menaggung sebagian atau mengambil alih menaggung belanja rumah tangga?

Jawabnya : Sesungguhnya jaminan tepat, supaya segalanya berjalan dengan lancer, hendaklah kaum wanita tidak turun ke lapangan kerja untuk mencari rezeki, kecuali dalam keadaan darurat dan terpaksa. Sebab pada waktu kaum wanita bersaing dengan kaum pria untuk bersama-0sama mencari kerja, pada saat yang sama kaum lelaki akan tersaing. Dengan demikian akan menjadi rusaknya hubungan antara keharusan menafkahkan hartanya dan upaya mendapatkan pekerjaan karena sempitnya mendapatkan yang kedua, sedangkan hal yang pertama tetap berlaku. Maka akan timbullah kendala, bahkan bencana sekalipun, bahwa tidak ada jalan lain selain mengharuskan kaum wanita menanggung beban rumah tangga bersama-sama dengan kaum pria, seperti mereka bersama-sama mendapatkan kerja.

Kalau begitu, maka kebersamaan kaum wanita dan pria dalam lapangan kerja secara mutlak, merupakan pendorong utama untuk memaksanya mengeluarkan belanja bersama-sama, dan masalah itu lalu menjadikan akaum wanita (setahap demi setahap) sebagai pemburu calon suami dan bersaing untyk mendapatkannya. Dengan demikian ia akan kehilangan suami.

Penutup dari semua ini, kita bisa menarik kesimpulan bahwa bekerjanya wanita untuk mendapatkan rezeki, pada dasarnya busa digolongkan sebagai hal mubah hukumnya, tidak ada perbedaan antara kaum lelaki dan kaum wanita. Namun, ia bisa mendatangkan sesudah itu hukum yang diharamkan, kalua itu mengundang datangnya keharaman. Datangnya keharaman itu bisa terjadi dari salah satu kedua soal berikut :

Pertama : apabila pihak wanita dengan demikian akan kehilangan kemampuannya untuk berhijab dari pihak laki-laki seperti yang diperintahkan Allah SWT, sehingga berakibat timbulnya pergaulan bebas yang merusak.

Kedua : apabila hal itu bisa mendatangkan kerusakan seperti yang kami uraikan di atas landasan perundang-undangan perkawinan, kemudian timbul hal-hal yang berbahaya dan menakutkan seperti yang kami uisyaratkan diatas. Deengan demikian hukum yang mubah itu –tidak diragukan lagi- akan berubah menjadi haram. Sebab dalam menilai berbagai kasus, kita harus senantiuasa mengaitkan dengan natijah atau akibat jangka pendek dan jangka panjangnya, bukan dalam bentuk dan warnanya yang mati !

Wallahu a`lam

0 komentar:

Posting Komentar

Share

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More